Arlo Library

product 1

Koleksi E-Book/Buku Elektronik yang dapat di Download Secara Gratis.

Limpapeh

product 1

Koleksi Artikel tentang adat, Budaya dan Pariwisata.

Arlo Techno

product 1

Arlo Techno berisi tentang Sisitim Informasi,Teknologi Informsi, Aplikasi dan Tutorial

Arlo News

product 1

Berisi kumnpulan berita.

Arlo Otomotif

product 1

Dunia Otomotif dan Modifikasi.

Arlo Mediatama Chanel

product 1

Berisi Kumpulan Video

Profil Gubernur Sumatera Barat dari Tahun 1945 s,d Sekarang

Admin | 02.11 |

Profil Gubernur Sumatera Barat 1945 s,d Sekarang


A.     Keresidenan Sumatera Barat (1945—1948)
1.      Muhammad Sjafei       (01 Oktober 1945 s.d 15 November 1945)

Dr. (H.C.) Muhammad Sjafei (lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, 21 Januari 1896 – meninggal 11 November 1966 pada umur 70 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia. Ia merupakan pendiri INS Kayutanam, sebuah lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus di Kayu Tanam, Padang Pariaman, yang banyak melahirkan tokoh masyarakat di kemudian hari.
Sepanjang 12 Maret 1946 hingga 2 Oktober 1946, ia menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pada Kabinet Sjahrir II menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia.
Muhammad Sjafei merupakan tokoh masyarakat di Sumatera Barat meskipun ia berdarah Jawa asal Kediri. Ia diangkat anak dan sangat disayang oleh Ibrahim Marah Soetan, seorang tokoh pendidik pada awal abad ke-20, ketika Ibrahim bertugas sebagai pendidik di Pontianak, Kalimantan Barat.
Ia kemudian disekolahkan ke Kweekschool atau Sekolah Raja di Fort de Kock (Bukit Tinggi) sepanjang tahun 1908 hingga 1914. Lalu pada tahun 1922 ia melanjutkan pendidikan ke Belanda dan kembali ke Tanah Air pada tahun 1926

2.      Roesad Datuk Perpatih Baringek (15 Nopember 1945 s.d 14 Maret 1946)

3.      Mohammad Djamil (18 Maret 1946 s.d 01 Juli 1946)

Dr. Mohammad Djamils, MPH, DPH gelar Datuk Rangkayo Tuo (lahir di Kayu Tanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 28 November 1898) adalah seorang perintis kesehatan masyarakat dan dokter asal Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai gubernur militer Sumatera Tengah.
Di bidang kedokteran, M. Djamil merupakan orang Indonesia pertama yang memperoleh dua gelar doktor. Gelar doktornya yang pertama dengan titel Doctor Medicinae Interne Ziekten diperolehnya di Universitas Utrecht, Belanda pada 31 Mei 1932. Sedangkan titel doktornya yang kedua : Doctor of Public Health (DPH), diperolehnya dari Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 12 Juni 1934.
Pada tahun 1925-1927, M. Djamil melakukan riset di Koto Gadang dan Sianok mengenai penyakit TBC dan malaria. Dari hasil riset tersebut ia memperoleh penghargaan dari Ratu Wilhelmina. Dua tahun kemudian, ia pindah ke poliklinik Natal, Sumatera Utara. Disini ia kembali melakukan penelitian mengenai penyakit malaria. Melalui hasil risetnya itu, anggaran pemerintah yang telah ditetapkan untuk pemberantasan malaria bisa ditekan.
Pada tahun 1938-1939, ia ditugaskan pada Kantor Pusat Penyakit Malaria di Jakarta. Dalam risetnya M. Djamil menemukan cara baru untuk memberantas jentik-jentik nyamuk malaria dengan dedak. Serta peran selaput protozoon di atas air terhadap penjangkitan malaria. Karena keberhasilannya dalam riset tersebut, dr. Overbeek Kepala Bestrijding di Indonesia, memberikannya titel malarialoog (ahli malaria).
Selain di bidang kedokteran, M. Djamil juga aktif berpolitik. Ia yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia[1], sempat menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera Barat[2], Residen Sumatera Barat, Gubernur Muda Sumatra Tengah, sekaligus Gubernur Militer Sumatera Tengah. Ia juga berperan besar dalam pendirian Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas di Bukittinggi
Untuk mengabadikan jasa-jasanya, maka sejak tahun 1978, RSUP Jati di Padang berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Dr. M. Djamil. Pemerintah juga menetapkan M. Djamil sebagai pejuang kemerdekaan di Sumatera Barat
4.      Sutan Mohammad Rasjid (20 Juli 1946 s.d 15 April 1948)

Mr. Sutan Mohammad Rasjid (lahir di Jawi-jawi (sekarang Jl. Jend. Sudirman), Pariaman, Sumatera Barat, 19 November 1911 – meninggal di Jakarta, 30 April 2000 pada umur 88 tahun) adalah salah seorang pejuang dan Perintis Kemerdekaan. Pada saat perang kemerdekaan II (Clash II), Rasjid menjabat sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat/Tengah. Selain itu dalam Kabinet Darurat ia menjabat sebagai Menteri Keamanan/Sosial dan Menteri Perburuhan dan Sosial.
Namanya disandangkan sebagai nama jalan di perbatasan Padang menuju Bandara Internasional Minangkabau.
Setelah menamatkan pendidikan MULO di Padang (sekarang SMPN 1 Padang) tahun 1929, Rasjid berangkat ke Batavia dan masuk ke sekolah menengah atas AMS pada tahun 1930. Setamat dari AMS tahun 1933, Rasjid muda memilih melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Hukum dan tamat tahun 1938 dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten.
Rasjid merupakan salah satu tokoh penting dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dimana pada saat itu pada masa pemerintahan darurat ini ia menjabat sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat/Tengah, dan kemudian dalam Kabinet Darurat ia menjabat sebagai Menteri Keamanan/Sosial dan Menteri Perburuhan dan Sosial yang berasal dari PSI.
Pada tahun 1954, ia diangkat sebagai Duta Besar Italia, akan tetapi pada tahun 1958 ia memutuskan untuk bergabung dengan PRRI dan akhirnya hidup berpindah-pindah sebagai pelarian politik[1].
Salah satu anaknya, Arwin Rasyid kini menjabat sebagai direktur utama Bank CIMB Niaga, dan pernah menjabat sebagai direktur utama Bank Danamon dan Telkom.
Ia wafat pada di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir.


B.     Provinsi Sumatera Tengah (1948—1956)
  1. Nasroen (1 Januari 1950 s.d 1 Agustus 1950)
  2. Roeslan Moeljohardjo (13 Januari 1951 s.d 20 Desember 1956)

C.     Provinsi Sumatera Barat (1958—sekarang)

1.      Kaharudin Datuk Rangkayo Basa (17 Mei 1958 s.d 5 Juli 1965)
Kombes. Pol. (Purn.) Kaharudin Datuk Rangkayo Basa (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 17 Januari 1906 – meninggal di Padang, Sumatera Barat, 1 April 1981 pada umur 75 tahun) merupakan seorang anggota polisi Republik Indonesia dengan jabatan terakhir Kepala Kepolisian Sumatera Tengah[1] dan kemudian menjadi Gubernur Sumatera Barat yang pertama (1958-1965), setelah provinsi Sumatera Tengah kemudian dimekarkan berdasarkan Undang-undang Darurat Republik Indonesia nomor 19 tahun 1957.

Kaharudin Datuk Rangkayo Basa merupakan tamatan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) (Sekolah Pangreh-praja) di Fort de Kock (Bukittinggi) dan istrinya Mariah yang dinikahinya dalam tahun 1926 merupakan tamatan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (SD 7 tahun) di Sigli, Aceh.
Dalam perjalanan kariernya ia pernah menduduki jabatan mulai dari Asisten Demang, Asisten Wedana Polisi, Kepala Polisi Padang Luar Kota, Kepala Polisi Keresidenan Riau, Kepala Polisi Kota Padang, Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat.
Pada masa kariernya menjadi Gubernur di Sumatera Barat, dia mengalami tekanan berat atas munculnya PRRI, satu sisi sebagai wakil bagi perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dan disisi lain sebagai pemimpin pada kawasan wilayah yang masyarakatnya bergejolak atas ketidak-puasan kepada pemerintah pusa

2.      Soepoetro Brotodihardjo (5 Juli 1965 s.d 4 Juni 1966) Penjabat Gubernur

3.      Harun Zain (4 Juni 1966 s.d 4 Juni 1971) (11 April 1972 s.d 11 April 1977)
Prof. Drs. H. Sutan Harun Al-Rasjid Zain gelar Datuk Sinaro (lahir di Jakarta, 1 Maret 1927 – meninggal di Jakarta, 19 Oktober2014 pada umur 87 tahun) adalah seorang pengajar dan birokrat Indonesia.

Ia pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Pembangunan III dan selama dua periode (1967-1977) memimpin Sumatera Barat sebagai gubernur. Ia juga pernah menjabat Rektor Universitas Andalas, Padang
Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari Prof. Sutan Muhammad Zain, seorang pakar bahasa yang terkemuka di Indonesia. Masa kecilnya banyak dihabiskan di kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Bandung, Batavia (sekarang Jakarta), Yogyakarta dan Surabaya mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai guru. Namun Harun Zain beranggapan bahwa masa awal pembentukan kepribadiannya berlangsung pada saat ia di Surabaya.
Harun Zain meninggal dunia pada 19 Oktober 2014 pada usia 87 tahun karena sakit tua yang dialaminya. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan
Ia mengawali karier di Sumatera Barat sebagai dosen terbang di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya menjabat sebagai Rektor Universitas Andalas sampai dengan tahun 1966. Tahun 1985 sampai dengan 1997 menjabat sebagai Rektor Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Pada tahun 1966, ia ditunjuk untuk menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode sampai dengan tahun 1977.
Seiring dengan pendidikan yang diemban di Amerika Serikat mengenai masalah perburuhan, pada tahun 1978 ia dipercaya untuk menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Pembangunan III dan menjabat sampai dengan tahun 1983.
Setelah menyelesaikan tugas di Kabinet, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia dari tahun 1983 sampai dengan 1988 yang pada masa itu dipimpin oleh M. Panggabean.
·         Tahun 1966 sampai dengan 1977 menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat
·         Tahun 1978 sampai dengan 1983 menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
·         Tahun 1983 sampai dengan 1988 menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
·         Tahun 1985 sampai dengan 1997 menjabat sebagai Rektor Universitas Mercu Buana

4.      Azwar Anas ( 18 Oktober 1977 s.d 18 Oktober 1982) (30 Oktober 1982 s.d 30 Oktober 1987)
Letjen (Purn) Ir. Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman (lahir di Padang, Sumatera Barat, 2 Agustus 1933; umur 84 tahun) adalah seorang militer, birokrat dan politisi Indonesia. Ia pernah dipercaya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) setelah menjabat sebagai Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Sebelumnya dia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-1987)

Azwar Anas lahir pada 2 Agustus 1931 di Padang, yang ketika itu merupakan bagian dari Keresidenan Sumatera Barat, Hindia Belanda. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Anas Malik Sutan Masabumi (ayah) dan Rakena Anas (ibu), yang memiliki sepuluh orang anak. Ayahnya yang masih memiki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung terakhir, yakni Sutan Bagagarsyah, bekerja sebagai kepala perbengkelan kereta api di Simpang Haru, Padang, sementara ibunya yang hanya tamatan SD berasal dari Koto Sani, Solok. Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya telah memperoleh seorang anak dari istri pertama yang kemudian diceraikannya, tetapi kehidupan mereka tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun telah bercerai.[1][2] Ayahnya adalah putera dari Malik anak dari Soetan Oesman gelar Soetan Lerang seorang pengusaha terkenal pada masanya.Templat:Tambo Soetan Oesman glr Soetan Lerang
Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam dengan didikan ayah yang berwatak keras tetapi disiplin dan didampingi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberikan nasihat akan pentingnya agama dan tanggung jawab. Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarganya di Mato Aie dalam sebuah rumah yang dibangun di pinggang bukit di tepi Jalan Raya Padang–Teluk Bayur. Tidak seperti kebanyakan anak ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda), ia bersama kakak dan adiknya tidak dimasukkan ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan dimasukkan ke HIS Adabiyah School, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.[3]
Ketika masih berusia kanak-kanak, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk membantu meringankan ekonomi keluarganya yang sedang sulit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia pernah berdagang kayu untuk kemudian dijual ke pasar Kampung Jawa dan berjualan ikan, bahkan sebelumnya ia juga pernah berjaja pisang goreng di Mato Aie setiap pagi.[4] Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, setelah tamat dari HIS Adabiyah, ia masih bisa meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi; ia masuk ke sekolah bentukan Jepang yang disebut Chu Gakko (setingkat SMP).[5]

Masa awal kemerdekaan

Berita diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru disebarluaskan ke Padang oleh Muhammad Sjafei sekitar akhir bulan Agustus.[6] Namun pada 10 Oktober 1945, tentara Sekutu, yang semula ditugaskan untuk melucuti serdadu Jepang dan mengambil para tawanan Jepang, telah merapat ke pelabuhan Teluk Bayur, tetapi kedatangan ini dicurigai oleh para pemuda di Padang ikut menyertakan tentara Belanda. Kecurigaan ini ternyata benar sehingga ketegangan mulai meningkat di Padang. Kantor-kantor pemerintahan di Padang mulai dipindahkan ke luar kota, termasuk kantor tempat ayahnya bekerja dipindahkan ke Kayu Tanam, sehingga keluarganya kemudian pindah ke tempat itu, sedangkan ia dan adiknya yang bernama Akil tetap menetap di Padang.[7] Namun karena Padang dirasakan tidak aman lagi setelah pembunuhan Bagindo Azizchan oleh tentara Belanda,[8] ia dan adiknya menyusul keluarganya yang ternyata telah berpindah ke Bukittinggi.[9] Di kota berhawa sejuk itu, ia tetap meneruskan sekolahnya; ia dimasukkan ke SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri III Bukittinggi dan setelah tamat ia masuk ke SMA Negeri 1 Bukittinggi.[9]
Tidak lama setelah ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama tokoh Minangkabau lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Pada saat itu, ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, keluarganya pindah ke Barulak, Tanah Datar, kemudian setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatera Barat pada 19 Agustus 1948, keluarganya kembali pindah ke Padang. Di Padang, ia bersekolah di SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951.[10] Setamat SMA, ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jawa, karena pada saat itu di Sumatera Barat belum ada perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya.[11] Oleh sebab itu, dalam suatu perundingan dengan keluarganya, ia menyampaikan keputusannya untuk merantau ke Jakarta
Sesampai di Jakarta, sambil mencari pekerjaan, ia menumpang sementara waktu di rumah salah seorang kerabatnya. Setelah memperoleh informasi dari salah seorang temannya tentang lowongan pekerjaaan pegawai Balai Penyelidikan Kimia di Bogor, ia langsung melamarnya.[13] Pada awalnya ia hanya berkerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium yang dikepalai oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Nyhold,[14] kemudian dalam tahun-tahun berikutnya, ia menjadi asisten seorang insiyur bernama Ir. Dufont setelah membantunya membangun sebuah laboratorium di Burangrang, Bandung. Sambil bekerja, ia juga memperoleh beasiswa dari Departemen Perindustrian saat itu untuk mengikuti pendidikan kimia di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).[15]
Setelah sekitar dua tahun mengikuti kuliah di ITB, prestasi akademisnya mulai menurun.[16] Pada saat itu ia memutuskan untuk kembali ke Padang untuk menemui orang tuanya di Mato Aie dan meminta izin menikahi seorang gadis di Bandung. Namun keinginannya ini ternyata tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Ibunya justru menangis sewaktu ia meminta izin menikahi seorang gadis yang bukan Minang. Sebaliknya, ibunya mengajukan calon lain yang sudah disiapkannya sendiri sejak lama, yakni Djusmeini. Pada 12 Juli 1957, ia akhirnya menikah dengan Djusmeini, yang ketika itu berumur 23 tahun. Setelah pernikahan dilangsungkan di Lubuk Alung, ia bersama istrinya kemudin pindah ke Bandung.[17] Sesampai di Bandung, ia tetap melanjutkan kuliahnya di ITB sampai tamat

5.      Hasan Basri Durin ( 30 Oktober 1987 s.d 30 Oktober 1992) (29 Desember 1992 s.d 29 Desember 1997)

Hasan Basri Durin (lahir di Nagari Jaho, Padang Panjang, Minangkabau, Hindia Belanda, 15 Januari 1935 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 9 Juli 2016 pada umur 81 tahun) adalah mantan politikus Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wali Kota Padang dan Gubernur Sumatera Barat masing-masing selama dua periode dan menjadi Menteri Negara Agraria pada 1998-1999.

Hasan Basri Durin lahir dan dibesarkan di kampung halamannya yang bernama Nagari Jaho, sebuah desa atau nagari yang terletak di dekat Padang Panjang. Setelah menamatkan SMA di Bukittinggi, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebelum terjun ke dunia politik, ia sempat bekerja sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Jambi dan Sumatera Barat. Pada bulan Oktober 1971, ia diangkat sebagai Penjabat Wali Kota Padang, kemudian menggantikan Akhiroel Yahya menjadi Wali Kota Padang selama dua periode dari tahun 1973 hingga tahun 1983. Setelah itu, ia menggantikan Azwar Anas sebagai Gubernur Sumatera Barat dan menjabatnya dari tahun 1987 sampai 1997. Setelah Presiden Suharto lengser kemudian digantikan oleh B.J. Habibie, ia diangkat menjadi Menteri Negara Agraria dalam Kabinet Reformasi Pembangunan dan menjabatnya sampai ketika kementerian itu dihapus oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999
Hasan Basri Durin lahir pada 15 Januari 1935 di Nagari Jaho, yang kini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Ayahnya, yakni Mahmud Durin Datuk Majo Indo adalah guru di Perguruan Tarbiyah Islamiyah, sementara ibunya bernama Darama.[1]
Ia menjalani masa kecil bersama keluarganya di kampungnya. Ia masuk Sekolah Desa di Jaho, kemudian meneruskan pendidikannya ke SMP di Padang Panjang pada akhir tahun 1947. Setamat SMP, karena gagal dalam tes kesehatan untuk masuk Sekolah Guru Atas (SGA), ia memutuskan untuk masuk ke SMA di Bukittinggi.[1] Setelah tamat pada tahun 1954, ia berambisi untuk masuk ke Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Batusangkar, tetapi kembali gagal ketika mengikuti tes. Pada akhir tahun 1954, ia memutuskan meninggalkan kampungnya dengan menaiki kapal dari Teluk Bayur menuju Jakarta untuk mengikuti tes penerimaan pegawai Departemen Luar Negeri. Tidak lama setelah menapakkan kaki di perantauan, datanglah surat pemberitahuan kepada orang tuanya yang tinggal di Padang Panjang bahwa ia mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan beasiswa ikatan dinas dari Departemen Dalam Negeri. Dari Jakarta, Hasan Basri Durin kemudian melanjutkan perantauannya ke Yogyakarta.
Setelah tamat dengan meraih gelar sarjana muda di UGM pada tahun 1958, ia segera ditugaskan oleh Departemen Dalam Negeri di Jambi sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (PPD). Setelah dua tahun bertugas di Jambi, ia melanjutkan pendidikan tingkat doktoral di UGM. Ketika itulah, sekitar awal 1960, Hasan Basri Durin berjumpa dengan Zuraida Manan, gadis sekampungnya yang telah dikenalnya sejak SMA, lalu mempersuntingnya. Pada akhir tahun 1960, ia menyelesaikan studi doktoralnya di UGM, kemudian ia segera ditugaskan kembali di Jambi sebagai Sekretaris Wali Kota Jambi. Untuk memperdalam pengetahuan di bidang pemerintahan, ia dikirim ke Universitas Negeri Wayne di Michigan, Amerika Serikat dari tahun 1962 sampai 1963.[2] Pulang dari Amerika, ia dipercaya menjadi Penjabat Wali Kota Jambi (1966–1967) saat usianya waktu itu baru mencapai 31 tahun. Namun, intrik-intrik politik di Jambi mengakibatkan ia harus meninggalkan daerah itu.[3]
Pada tahun 1970, ia menjabat Sekretaris PPD Sumatera Barat. Pada tahun 1971 ia diangkat sebagai Penjabat Wali Kota Padang,[4] yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi Wali Kota Padang dari tahun 1973 hingga tahun 1983.[5][6] Empat tahun berikutnya ia menjabat Pembantu Gubernur Sumatera Barat Wilayah II, sebelum kemudian terpilih sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1987–1997), menggantikan Azwar Anas yang sebelumnya juga telah menjabat selama dua periode. Setelah turun dari jabatan Gubernur Sumaetra Barat, ia terpilih menjadi Ketua Fraksi Utusan Daerah MPR-RI (1997).[7] Setelah itu, ia diangkat sebagai Menteri Negara Agraria dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin Presiden B.J. Habibie.[8][9][10]Pada saat itu, politik Indonesia sedang berada di awal pusaran badai reformasi yang kemudian berhasil melengserkan Suharto dari kursi presiden dan akhirnya menumbangkan Rezim Orde Baru, sementara B.J. Habibie yang menggantikan Suharto tidak berhasil mengendalikan kapal politik Indonesia yang sedang oleng itu.[11] Sedikit banyaknya kondisi yang demikian juga berimbas kepada Hasan Basri Durin, seperti fitnahan-fitnahan korupsi terhadap dirinya semasa menjabat Gubernur Sumatra Barat yang antara lain berakibat pada terjadinya insiden penyanderaan terhadap dirinya dalam bus ketika mengunjungi Kampus IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) di Air Tawar, Padang pada 27 Agustus 1998.[12][13]
Pada 23 Oktober 1999, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menggantikan B.J. Habibie melantik kabinetnya. Namun, Gus Dur menghapus Kementerian Agraria. Bersamaan dengan itu, karier politik Hasan Basri Durin, yang telah dijalaninya selama 43 tahun berakhir.
Hasan Basri Durin meninggal dunia pada hari Sabtu, 9 Juli 2016, pukul 00.30 WIB di kediamannya Pancoran, Jakarta Selatan karena pendarahan otak.[14] Ia meninggalkan empat orang anak dan sebelas orang cucu. Ia akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan

6.      Muchlis Ibrahim (29 Desember 1997 s.d 27 Maret 1999)
Mayjen. (Purn.) TNI Muchlis Ibrahim (lahir di Tanjung Alam, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat, 11 Oktober 1942; umur 75 tahun) adalah seorang perwira tinggi militer dan pernah menjabat Gubernur Sumatera Barat periode 1997 - 1999.

Sebelumnya, pada tahun 1993 ia diangkat menjadi Wakil Gubernur Sumatera Barat menggantikan Sjoerkani yang berakhir masa jabatannya. Empat tahun kemudian, ia terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat menggantikan Hasan Basri Durin pada tahun 1997. Pangkatnya dinaikkan dari Brigadir Jenderal menjadi Mayor Jenderal. Muchlis hanya menjabat gubernur selama dua tahun kurang. Setelah pensiun ia menetap di Jakarta
Ia menamatkan SD dan SMP di kampung halamannya. Kemudian meneruskan ke SMA PSM di Bukittinggi dan tamat tahun 1962. Ia kemudian ke Jakarta dan mendaftar di sejumlah perguruan tinggi termasuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Ia diterima di Akmil dan juga di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia di Bogor. Ia memilih Akmil di Magelang dan lulus pada tahun 1965.
Ia sempat menjadi Wakil Asisten Personalia Kodam III/17 Agustus di Padang, kemudian promosi menjadi Kasrem Wirabima di Pekanbaru pada tahun 1983. Setelah itu ia kembali menjadi guru militer di Akmil Magelang. Ia juga pernah menjabat Kadep Artileri dan Direktur Pembinaan Lembaga di almamaternya pada tahun 1989-1990 sebelum dipromosikan menjadi Inspektur Kodam I/Bukit Barisan di Medan pada tahun 1991.

7.      Dunidja (27 Maret 1999 s.d 24 Februari 2000) Penjabat Gubernur
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dunidja adalah seorang politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat sejak 27 Maret 1999 hingga 24 Februari 2000.[1]
Dia juga merupakan salah satu tokoh pejuang terbentuknya Kabupaten Renah Indojati, yang belum terwujud sampai sekarang
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri Padang tahun 1969, beliau masuk ke Akademi Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) dan lulus dengan salah satu peraih Adhi Makayasa dari Presiden R.I. Soeharto akhir tahun 1972[3]
Sedangkan pendidikan jenjang kuliahnya beliau tempuh di Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Militer (PTIH Militer) di Jakarta pada tahun 1995, dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H).
Dunidja juga pernah menjabat beberapa jabatan penting, antara lain Kasdam Kodam II / Sriwijaya (1997 - 1999) sebelum pensiun dini dan berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjend.) TNI.

8.      Zainal Bakar ( 24 Februari 2000 - 24 Februari 2005 -14 Maret 2005)

H. Zainal Bakar, S.H[1] (lahir di Pariaman, Sumatera Barat, 16 Agustus 1940 – meninggal di Padang, Sumatera Barat, 31 Juli 2012 pada umur 71 tahun) adalah Gubernur Sumatera Barat periode 2000 - 2005.[2] Ia terpilih sebagai gubernur menggantikan Dunidja

9.      Thamrin ( 14 Maret 2005 s.d 15 Agustus 2005) Penjabat Gubernur
10.  Gamawan Fauzi (15 Agustus 2005 s.d 22 Oktober 2009
Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M. gelar Datuk Rajo Nan Sati (lahir di Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957; umur 60 tahun) adalah seorang birokrat dan politikus Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 20 Oktober 2014.[

Sebelumnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat sejak 15 Agustus 2005 hingga 22 Oktober2009. Di Mendagri Gamawan Fauzi Raih Penghargaan Perhumas Gamawan fauzi dikenal dengan konsep Good, Clean and Efficient Governance-nya. Ia juga penerima Bung Hatta Award atas keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi bupati di kabupaten Solok.
11.  Marlis Rahman ( 22 Oktober 2009 s.d 7 November 2009)

Prof. Dr. H. Marlis Rahman, M.Sc. (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 9 Juni 1942; umur 75 tahun) adalah akademisi, pengajar, dan politisi Indonesia. Ia adalah putra pasangan almarhum Malin Batuah dan almarhumah Lian, yang merupakan Gubernur Sumatera Barat yang dilantik oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi pada hari senin 7 Desember 2009.[1] Sebelumnya Marlis Rahman, merupakan wakil Gubernur terpilih bersama Gubernur, Gamawan Fauzi. Pasangan ini merupakan gubernur pertama yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Sumbar dan dilantik pada 15 Agustus 2005
12.  Irwan Prayitno (15 Agustus 2010- 15 Agustus 2015)
Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc atau disapa Datuak IP (lahir di Yogyakarta, Indonesia, 20 Desember 1963; umur 54 tahun) adalah seorang akademisi pendidikan dan politisi Indonesia. Ia memulai jabatan sebagai Gubernur Sumatera Barat periode kedua pada 12 Februari 2016[1] setelah kembali memenangkan pemilihan Gubernur Sumatera Barat. Sebelumnya, ia duduk di Dewan Perwakilan Rakyat tiga periode sejak 1999 dari Partai Keadilan Sejahtera. Ia dikenal sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Adzkia, tetap mengajar dan menunaikan dakwah sepanjang kariernya.

Datang dari keluarga Minangkabau, Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Ia mengenal tarbiah dan terjun sebagai aktivis dakwah saat berkampus di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1982. Setelah meninggalkan status mahasiswa pada 1988, ia kembali ke Padang mendirikan Yayasan Pendidikan Adzkia. Ia sempat mengambil pekerjaan paruh waktu di bagian HRD (Human Resource Development) berbagai perusahan pemerintah dan dosen psikologi industri. Seiring pengukuhan Partai Keadilan pada 20 Juli 1998, Irwan membentuk dan mengetuai perwakilan PK di Malaysia. PK mengantar Irwan duduk di parlemen hasil pemilihan umum 1999; Irwan terus terpilih untuk dua periode berikutnya. Setelah menyelesaikan pendidikan doktor, ia berbagi tugas sebagai guru besar bidang pengembangan SDM dan tetap berdakwah.
Selaku kepala daerah, ia mendapat sejumlah penghargaan dari negara. Empat tahun kepemimpinan Irwan ditandai dengan sedikitnya 137 penghargaan dari pemerintah yang diraih Sumatera Barat. Selama duduk di parlemen, ia mencurahkan pandangannya dalam penyusunan sejumlah RUU, termasuk penggunaan sumber energi alternatif panas bumi. Ia dicatat karena kemampuan melobi dan pernah menolak permintaan untuk menjadi menteri.
Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orangtua yang sama-sama dosen.[2] Lahir di Yogyakarta pada 20 Desember 1963, ia mewarisi darah Minangkabau dari ayah Djamrul Djamal dan ibu Sudarni Sayuti. Ayahnya berasal dari Simabur, Tanah Datar dan ibunya adalah kelahiran Pauh IX — yang secara administratif masuk ke Kecamatan Kuranji, Padang. Mereka sama-sama lulusan PTAIN Yogyakarta dan dosen IAIN Imam Bonjol. Sebelum tinggal di Padang, keluarga ini sempat menetap di Semarang sampai Irwan berusia tiga tahun, dan pindah ke Cirebon saat Irwan memasuki usia sekolah dasar.[3] Irwan muda kelak mendapatkan kepercayaan masyarakat Suku Tanjung sebagai penghulu Nagari Pauah IX dengan menyematkan gelar Datuk Rajo Bandaro Basa pada 13 Februari 2005.
Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMA Negeri 3 Padang. Selama di SMA, ia selalu dipercayakan sebagai ketua kelas dan meraih juara kelas.[4] Irwan sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar Nurul Fikri.[5] Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Menurutnya, hal yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.[6]
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Selama keterlibatannya dengan HMI, ia merasakan gaya represif pemerintahan Soeharto terhadap pergerakan Islam. Pada 1984, ia naik sebagai Ketua HMI Komisariat Fakultas Psikologi UI. Namun, seiring intervensi pemerintah yang memaksakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, HMI mengganti asasnya dengan Pancasila pada tahun 1986 dan bersamaan dengan itu Irwan keluar dari keanggotaan HMI.[7] Ia mengikuti pergerakan Islam dalam skala yang lebih kecil, beralih ke masjid di kampus-kampus lewat kelompok-kelompok tarbiah yang lebih berorientasi pada pembinaan aqidah dan akhlaq.[8] Aktivitas tarbiah berpusat di masjid-masjid kampus seperti Masjid Arif Rahman Hakim, UI; Masjid Salman, ITB; dan Masjid Al-Ghifari, IPB.
Bersama teman-temannya, Irwan bolak-balik mengikuti kegiatan halaqah atau lingkaran dakwah di Masjid Salaman. Pola latihan dimulai dengan pembentukan kelompok kecil dengan bimbingan seorang mentor sebagai penyampai tentang ajaran Islam. Pola ini diperkenalkan oleh sejumlah ustad dan pelajar Indonesia lulusan Timur Tengah, merujuk pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Setelah dua kali pertemuan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus, ia terlibat dalam sosialisasi petunjuk perjuangan LDK atau khittah, berkeliling ke kota-kota di Sumatera Barat. Ia berkenalan dan mendapati mubalig muda seperti Mahyeldi Ansharullah, Marfendi, dan Rafdinal yang kelak terlibat dalam kepengurusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pada tahun 1985, dalam usia 22 tahun, Irwan menikah dengan Nevi Zuairina, mahasiswi UI yang ditemuinya saat menjalani kuliah semester tiga.[6] Bersama istrinya, Irwan menunaikan dakwah dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia mengakhiri kuliahnya setelah enam tahun dengan IPK rendah 2,02 karena harus membagi waktunya untuk mencari nafkah.[9] Setamat kuliah, aktivitas dakwah mereka berlanjut dengan mengembangkan kegiatan dakwah di kampus Universitas Andalas dan IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang).
Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Semula, Irwan merintis kursus bimbingan belajar Adzkia di Lolong pada 1987. Selain dirinya, beberapa pendiri Adzkia adalah sekaligus guru di antaranya Syukri Arief dan Mahyeldi Ansharullah. Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.[10] Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan.[11] Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.[12]
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya.[13] Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Ia bertemu dengan Pembantu Rektor Universitas Putra Malaysia (UPM) Prof. Hasyim Hamzah, melalui seorang teman, menyatakan kesanggupan menyelesaikan studi dalam tiga semester.[14] Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM, Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.[15]
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak.[13] Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.[16]
Saat dicalonkan oleh Partai Keadilan sebagai anggota legislatif DPR, Irwan tengah mempersiapkan ujian akhir S-3. Meski turun kampanye untuk daerah pemilihan Kabupaten Tanah Datar pada pemilihan umum legislatif Indonesia 1999, ia dapat merampungkan kuliahnya untuk gelar PhD dengan IPK cumlaude 3,97 pada tahun 2000.[17] Kembali ke Indonesia, ia berbagi tugas di legislatif dan kegiatannya di bidang akademisi. Sejak tahun 2003, ia mengajar program pasca-sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan dikukuhkan sebagai guru besar pada 1 September 2008.[18] Sampai ia menjadi Gubernur Sumatera Barat sejak 2010, ia masih menyempatkan mengajar 12 kali dalam satu semester.[19]
Melalui persinggungannya dengan pergerakan tarbiah, ia menunjukkan perhatiannya dalam politik. Ketika pengukuhan pendirian Partai Keadilan pada 20 Juli 1998, Irwan ditunjuk sebagai Ketua Perwakilan PK di Malaysia. Ia dimintai kesediaan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh PK mewakili daerah pemilihan Tanah Datar. Hasil pemilihan umum legislatif Indonesia 1999, PK hanya memperoleh 1,4 juta suara atau 1,7% dari total pemilih. PK mendudukkan tujuh kader di DPR, termasuk dirinya. Bersama Partai Amanat Nasional yang mengumpulkan 37 kursi DPR, kedua partai bergabung membentuk Fraksi Reformasi dengan Hatta Rajasa sebagai ketua dan Irwan Prayitno sebagai wakil. Fraksi mengantar nama Irwan sebagai Ketua Komisi VIII. Ia memimpin Komisi VIII yang di antaranya membidangi masalah energi dan sumber daya mineral. Selama berada di DPR, Hatta mengaku fraksi mereka adalah fraksi yang militan. AM Fatwa menyebut Irwan satu-satunya pimpinan komisi di DPR yang tak tergantikan selama lima tahun.
Jelang 1 April 2000, pemerintah hampir memberlakukan kenaikan tarif BBM. Susilo Bambang Yudhoyono yang waktu itu menjabat Menteri Pertambangan, malam hari sebelum pengumuman kenaikan BBM sempat menelepon Irwan, menanyakan tentang kesiapan kenaikan BBM. "Saya katakan, kami di DPR belum siap atas kenaikan itu," tutur Irwan.[20] Pada hari pengumuman 31 Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan menunda rencana menaikkan harga BBM.[21] Setelah pembahasan dengan DPR, pemerintah resmi memberlakukan kenaikan tarif BBM pada 1 Oktober 2000.
Saat pemerintah terus mengurangi subsidi BBM sejak Oktober 2000, Irwan mengusulkan penggunaan energi panas bumi sebagai energi alternatif dengan memulai pembahasan rancangan undang-undang melaui Komisi VIII. Menurutnya, pemakaian energi panas bumi akan turut membantu pemerintah mendorong kemandirian penyediaan energi, terutama melalui pembangkit listrik. "Penggunaan energi panas bumi memungkinkan pemerintah tidak terbebani oleh mata uang asing seperti halnya penyediaan BBM dan menghindari ketergantungan minyak dalam jangka panjang." Namun, RUU semula tidak dilirik oleh pemerintah, karena energi panas bumi dianggap mahal.[22] Ia terus melobi eksekutif untuk meloloskan RUU, sampai akhirnya pemerintah mengesahkannya menjadi UU Panas Bumi Nomor 27 tahun 2003. Saat itu, undang-undang ini belum ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah.[23]
Memasuki tahun 2003, pemerintah mengumumkan kenaikkan TDL, tarif telepon, dan BBM secara serentak. Fraksi Reformasi menyatakan desakan pembatalan tiga agenda ini. Irwan bahkan mengancam akan keluar dari DPR bersama enam orang anggota Partai Keadilan lainnya jika kenaikan tarif serentak tetap diberlakukan. "Mengingat masyarakat tidak mampu menanggung beban akibat krisis, maka alternatif pembatalan adalah yang paling tepat," tutur Irwan.[24] Dalam wawancara dengan Republika, Irwan menyatakan kekecewaannya atas tanggapan pemerintah yang mengesankan seolah-olah pemberlakukan kenaikan sudah disetujui dewan. "Jangankan menyetujuinya, membahasnya tidak. Kita tak pernah diajak membahas tentang kenaikan harga BBM dan kapan keputusan kenaikan itu bisa diterapkan. Jelas masyarakat dibohongi," ujarnya.[20][25] Meskipun PK tidak menarik anggotanya dari parlemen, pemerintah merespons dengan tidak jadi menaikkan TDL dan tarif telepon.[26][27][20] Terkait ancamannya, Irwan menyebutnya sebagai pembelajaran bagi politisi sekaligus kader. "Apabila kita sudah tidak sanggup lagi untuk menjaga amanah dan aspirasi rakyat sudah tak dapat didengar lagi maka sudah sepantasnyalah kita keluar dari DPR."[28]
Pada pemilihan umum legislatif April 2004, ia diusung partai yang telah berganti nama PKS sebagai calon anggota legislatif DPR. Daerah pemilihan Sumatera Barat mengirimkan dua wakil ke DPR dari PKS, dirinya dan Refrizal. Pada periode keduanya di DPR, ia kembali mengetuai komisi yang sama sampai 2005 sebelum berpindah komisi dan diangkat sebagai Ketua Komisi X sejak 2007.[29] Setelah memimpin komisi yang membidangi masalah pendidikan, ia berhadapan dengan pemerintah dalam evaluasi pelaksanaan UN. Ia mengkritik pelaksanaan UN bila sebatas syarat penentu kelulusan siswa, berpendapat bahwa hasil UN mestinya bisa digunakan untuk masuk perguruan tinggi. Ia mengusulkan pelaksanaan SPMB untuk menjaring mahasiswa bebas biaya. Irwan pernah berpendapat pelaksanaan penerimaan mahasiswa harus ditangani otonom oleh masing-masing perguruan tinggi.
Dalam pemilihan umum 2009, Irwan dan Refrizal terpilih kembali mewakili Sumatera Barat.[30] Irwan tak menyelesaikan periode ketiganya setelah maju sebagai Gubernur Sumatera Barat; Sidi Hermanto mengisi PAW.
Setelah Megawati Soekarnoputri dilantik sebagai presiden, PK meminta kesediaan Hamzah Haz dicalonkan sebagai wakil presiden, mendahului sikap resmi PPP. Dalam upaya memperoleh dukungan dari parlemen untuk mendukung Hamzah, Irwan melobi tokoh-tokoh kunci dari fraksinya seperti Amien Rais, AM Fatwa, dan Hatta Rajasa. Irwan bahkan mengancam akan keluar dari fraksi jika fraksi tidak mendukung Hamzah Haz. Bersamaan dengan naiknya Hamzah Haz, Megawati mengangkat beberapa anggota lintas fraksi sebagai menteri. Ia ditawari jabatan Menristek, tetapi atas pertimbangan partai ia menolak. Jabatan ini dialihkan ke Hatta Rajasa, rekan satu fraksi dan satu komisi Irwan.
Jelang pemilihan umum Presiden Indonesia 2004, Irwan yang sejak awal mengarahkan dukungannya ke Amien Rais ditunjuk oleh partai untuk menjalin mitra koalisi dengan Amien. Irwan sekaligus mengemban misi memenangkan Amien Rais di Sumatera Barat. Amien mendapat dukungan mayoritas di Sumatera Barat, tetapi secara nasional kalah perolehan suara dan gagal masuk ke pemilihan presiden putaran kedua. Menjelang pemilihan presiden putaran kedua, Irwan meyakinkan PKS untuk mendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pemerintahan, Irwan dan SBY telah menjalin hubungan dalam kapasitas Irwan sebagai Ketua Komisi VIII dan SBY sebagai Mentamben. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara, SBY mendapat dukungan bulat 84,4% dari Sumatera Barat. Wakil presiden terpilih Jusuf Kalla menuturkan, SBY sempat mengharapkan Irwan turut memperkuat kabinet setelah pemilihan umum Presiden Indonesia 2004, tetapi Irwan lebih memilih berkonsentrasi di DPR. "Ini memberikan kesan bagi saya bahwa saudara Irwan menjalankan tugas dengan baik apabila dipercayakan dan memegang amanah."[31]
Dalam pemilihan pimpinan MPR, Irwan Prayitno berperan menaikkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR. Nama Irwan lebih dulu mengapung sebagai calon Ketua MPR, tetapi Irwan menolak pencalonannya. Ia terlibat dalam penyusunan peraturan tata tertib MPR, mengusulkan calon yang tampil tidak secara individu tetapi secara paket dengan komposisi 2-2, dua dari DPR dan dua dari DPD. Koalisi tempat PK bergabung resmi mengusulkan paket Hidayat didampingi tiga orang calon wakil ketua, yaitu AM Fatwa, Aksa Mahmud, dan Mooryati Soedibyo. Saat itu, ia ditunjuk untuk memimpin lobi ke semua partai untuk mendukung Hidayat. Hidayat terpilih setelah mendapat 326 suara, berbeda dua angka dengan paket dari koalisi yang mengusulkan Sutjipto.

Pencalonan gubernur

Irwan Prayitno pernah maju sebagai calon Gubernur Sumatera Barat pada pemilihan umum Gubernur Sumatera Barat 2005. Seiring dengan pencalonannya, ia meninggalkan jabatan kepartaian. Irwan maju didampingi Ikasuma Hamid dengan dukungan parlemen dari PKS dan Partai Bintang Reformasi. Ikasuma Hamid adalah mantan Bupati Tanah Datar dua periode. Irwan yang ketika itu berumur 41 tahun bersaing dengan Jeffrie Geovanie yang lebih muda empat tahun dan Gamawan Fauzi yang berumur 46 tahun. Dalam pemilihan yang diikuti lima kandidat calon, Irwan bersama pasangannya tercatat memperoleh 25,11% suara. Hasil rekapitulasi suara menunjukkan kemenangan Gamawan Fauzi, Irwan Prayitno di urutan kedua, dan Jeffrie Geovanie di urutan ketiga.[32]
Meski memperoleh suara di bawah gubernur terpilih Gamawan Fauzi, Irwan semula tidak berencana maju kembali dalam pemilihan umum Gubernur Sumatera Barat 2010.[33] Ia mendadak dimintai DPP PKS untuk maju, dua hari sebelum hari terakhir pendaftaran.[34] Irwan mengaku sempat marah karena sebelumnya PKS telah menyiapkan kadernya yang Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat Trinda Farhan Satria. Setelah beberapa kali penolakan, DPW PKS Sumatera Barat datang meminta langsung pada Irwan ke Jakarta. "Tetap saya tolak, karena partai waktu itu hanya memerintahkan saya menjadi dubes. Saya pindah ke Komisi I waktu itu untuk persiapan dubes," aku Irwan sebagaimana rilis berita KlikSumbar.[33]
Sebelumnya, PKS berencana mengusung Trinda Farhan Satria dan telah gencar menyosialisasikan sebagai calon wakil gubernur, tetapi urung karena tak kunjung mendapatkan mitra koalisi. Irwan akhirnya menyatakan maju dalam pemilihan sebagai calon Gubernur Sumatera Barat setelah DPP PKS meminta kesediaannya dicalonkan kembali. Dengan dukungan PKS, PBR, dan Hanura, Irwan maju bersama pasangannya Muslim Kasim yang mantan Bupati Padang Pariaman dua periode.[35] Irwan yang tiba di Padang pada sore hari terakhir pendaftaran, 8 April 2010, bersama Muslim mendaftar ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat, 50 menit jelang berakhirnya masa pendaftaran.[35]Dalam pemilihan umum 2010, Irwan bersaing bersama Prof. Dr. Ediwarman, MHum dan Prof. Dr. H. Marlis Rahman, MSc yang berlatar akademisi, Dr. Fauzi Bahar, MSi yang ketika itu Wali Kota Padang, dan seorang ekonom Endang Irzal, MBA.
Irwan resmi ditetapkan sebagai gubernur terpilih setelah meraup 32,44% suara.[36] Ia tercatat sebagai Gubernur Sumatera Barat pertama yang berasal dari partai politik. Bersama wakilnya Muslim Kasim, Irwan dilantik sebagai Gubernur Sumatera Barat pada Minggu, 15 Agustus 2010 oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi atas nama Presiden RI. Pelantikan berlangsung di bekas ruangan garasi mobil DPRD Sumatera Barat karena gedung utama rusak berat akibat gempa.
Gubernur Sumatera Barat
Irwan dilantik sebagai gubernur pada 15 Agustus 2010, kurang dari sebelas bulan setelah gempa bumi mengguncang Sumatera Barat. Pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih berlangsung di ruang garasi DPRD Sumatera Barat. Menjalani periode pertama, Irwan memimpin penataan provinsi yang porak-poranda pasca-bencana, membangkitkan kembali perekonomian Sumatera Barat yang pertumbuhannya hanya empat persen pada 2009.
Pada 2011, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan penghargaan "terbaik" atas pelaksanaan tanggap darurat yang dilakukan pemerintah provinsi.[38] Melalui kebijakan Irwan, rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap rumah penduduk dan fasilitas publik mendapat prioritas dari pembangunan gedung pemerintahan. Tiga tahun setelah bencana, sebanyak 197.636 rumah penduduk yang rusak telah direhabilitasi dan direkonstruksi sehingga, BNPB pada 2013 memberikan penghargaan rehabilitasi dan rekonstruksi "tercepat" kepada pemerintah provinsi.[39]
Selema periode pertama kepemimpinannya, Irwan menjadikan rumah dinasnya sebagai kantor. Irwan mengaku, pasca-gempa banyak SKPD berkantor sementara di ruang darurat dan bertumpuk pada satu ruangan. Saat kantor baru untuk gubernur siap ditempati pada akhir 2013, Irwan mengalihkan penggunaannya untuk SKPD yang masih berdesak-desakan berkantor di aula Gubernuran. Pembangunan gedung pemerintahan baru dimulai pada 2013, sementara perbaikan kantor gubernur lama menyusul pada akhir 2014. Saat memasuki periode kedua menjabat gubernur, Irwan masih belum menempati kantor resmi, menunggu retrofit kantor gubernur lama selesai.
Harian lokal Padang Ekspres dalam edisinya 15 Agustus 2014 mendaftarkan sedikitnya 137 penghargaan yang diraih atas nama pemerintah provinsi Sumatera Barat empat tahun terakhir. Sejumlah penghargaan untuk tahun 2013 diserahkan terpisah sepanjang semester pertama 2014. Pada 13 Mei 2014, Sumatera Barat menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumatera Barat 2013.[40] Ini adalah untuk kali kedua setelah LKPD tahun sebelumnya mendapat opini serupa. Pada 24 Februari 2014, pemerintah menyerahkan penghargaan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran. Dengan predikat memuaskan tiga, capaian realisasi keuangan Sumatera Barat menduduki peringkat ke-6 nasional.[41] Dalam pelaksanaan APBD 2013, realisasi anggaran mencapai 98,92% dari target Rp3,182 triliun, sementara serapan PAD melebihi target, 102,42% yaitu Rp1,366 triliun dari target Rp1,334 triliun.[42][43]
Dalam bidang infrastruktur, Menteri PU Djoko Kirmanto pernah mengatakan infrastuktur di Sumatera Barat terbaik dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Data tahun 2013 mengungkapkan kemantapan jalan nasional menyentuh angka 95,32%, capaian layanan air minum mencapai 62,52%, dan jangkauan layanan sanitasi permukiman 45,58%.[44] Dari Kementerian Sosial, Sumatera Barat menerima penghargaan Piagam Kesetiakawanan Sosial atas implementasi program penyelenggaraan kesejahteraan sosial pada 7 Maret 2014. Presentase angka kemiskinan terus terun sejak 2010 dari angka 9,5% menjadi 7,5% pada 2013. Angka Indeks Pembangunan Manusia provinsi adalah 74,70 atau menduduki peringkat ke-9 nasional. Dari Kementerian Perindustrian, pemerintah menyerahkan penghargaan peringkat kedua nasional dalam peningkatan penggunaan produksi dalam negeri pada Oktober 2014.[45]
Pada 18 Juli 2014, Sumatera Barat mendapat predikat terbaik nasional dengan nilai tertinggi dalam kepatuhan terhadap UU Nomor 25 tahun 2009 tentang "Pelayanan Publik" dari Ombudsman RI. Penghargaan diterima Gubernur Irwan Prayitno dari Menko Polhukam Djoko Suyanto di Jakarta. Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana telah menyampaikan hasil penilaian saat menemui Irwan di Gubernuran pada 15 Mei 2014. Irwan selaku kepala daerah dinilai memiliki respon dan komitmen mewujudkan kebutuhan dan sistem pelayanan publik sesuai UU. Sebelumnya, Badan Kepegawaian Negara memasukkan Sumatera Barat sebagai provinsi terbaik dalam pelaksanaan penerimaan CPNS 2013 dengan sistem Computer Assisted Test (CAT).[46][47]
Dari Kementerian Pariwisata, Sumatera Barat menerima penghargaan tertinggi di bidang kepariwisataan The Most Improved Travel Culb Tourism Award pada 20 November 2014. Sebelumnya, Sumatera Barat meraih salah satu kategori penghargaan National Procurement Award 2014 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atas peran LPSE provinsi.[48] Pada 8 Desember 2014, Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan memberikan penghargaan Inklusif Award 2014 atas implementasi pendidikan inklusif di daerah-daerah Sumatera Barat.[49] Pada 10 Desember, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyerahkan piagam penghargaan atas peran serta Smatera Barat dalam mendukung kegiatan Pembentukan Daerah Tertib Ukur dan Pasar Tertib Ukur.[50]
Selaku gubernur, Irwan berperan meningkatkan koordinasi antara pemerintah daerah dan melobi pemerintah pusat untuk mendapatkan dukungan anggaran. Dalam rapat koordinasi kepala daerah se-Sumatera Barat pada 3 Maret 2014, mengapung permintaan anggaran Rp8,8 triliun kepada pemerintah pusat untuk pelaksanaan pembangunan prioritas di Sumatera Barat. Setelah rapat ber­sama Kementerian PU pada 6 Mei 2014, Menteri PU Djoko Kirmanto menyetujui alokasi anggaran untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Melalui Kementerian PU, pemerintah mengucurkan sebesar Rp3 triliun selama tiga tahun anggaran 2014–2016 untuk percepatan pembangunan infrastruktur di Sumatera Barat.[51][52]
Selain menerima sejumlah penghargaan penghargaan untuk provinsi, Irwan mendapatkan penghargaan oleh negara selaku kepala daerah. Pada 12 Oktober 2012, Irwan menerima penghargaan Prabawa dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atas perhatian dan komitmennya dalam pengembangan potensi EBT.[53][54] Pernah menangani masalah energi dan sumber daya mineral saat di DPR, Irwan menaruh perhatian terhadap pengembangan energi baru terbarukan sebagai sumber energi alternatif bagi pembangunan listrik di Sumatera Barat. Dalam upaya percepatan pemberdayaan energi panas bumi, ia selaku kepala daerah menjalin kerja sama dengan beberapa negara untuk mendatangkan investor, memfasilitasi inventarisasi potensi EBT, penelitian, dan promosi.[53] Selain mengantar kebijakan pemanfaatan EBT kepada legislatif Sumatera Barat, ia mendorong kepala daerah mengembangkan EBT secara otonom. Saat ini, Sumatera Barat memiliki unit pelayanan terpadu satu pintu untuk mempermudah perizinan investasi.[55] Berkaitan dengan pengelolaan panas bumi, Sumatera Barat memiliki Perda Nomor 7 Tahun 2012, diikuti payung hukum penyediaan tenaga listrik dalam Perda Nomor 2 tahun 2013.[56][a]
Pada 29 November 2013, Irwan menerima Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara, penghargaan tertinggi dari Dewan Ketahanan Pangan Nasional.[59] Dalam mencapai ketahanan pangan, beberapa program-program yang dijalankan Irwan di antaranya peningkatkan jam kerja petani dengan menambah cabang usaha. Keberagaman pangan Sumatera Barat mencatatkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang mencapai 77,50.[60] Dari Perpustakaan Nasional, Irwan meraih penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka pada 29 Oktober 2013. Ia dianggap memberikan porsi lebih terhadap minat baca, melalui upayanya mencarikan gedung pengganti perpustakaan daerah yang hancur pascagempa.[61] Pada 27 November 2013, Irwan menerima penghargaan dari Menteri Perdagangan Gita Wirjawan selaku kepala daerah atas perhatian dan kepedulian terhadap perlindungan konsumen.[62] Pada pengujung tahun 2014, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan menetapkan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) 2014 kepada Gubernur Sumatera Barat.[63]

Gaya kepemimpinan

Irwan meminta siapa pun untuk tidak memaksa dirinya berubah sesuai ketentuan protokoler.[64] "Jangan paksa saya mengubah style hidup saya, karena bagi saya fasilitas jabatan apa pun adalah sunah, kewenangan justru suatu kewajiban bagi saya," katanya. Ketimbang menggunakan anggaran yang tersedia, Irwan mengoptimalkan penggunaan fasilitas yang telah ada. Ia menolak masukan untuk membeli mobil dinas baru dan masih menempati rumah dinas lama.[65] Ketika disodori alasan menutup malu kepada menteri atau pejabat negara lainnya yang datang berkunjung, Irwan lebih memilih menggunakan mobil pribadinya untuk dijadikan mobil pelat merah.[64] Saat rekonstruksi kantor pemerintahan yang rusak akibat gempa bumi 30 September 2009, sempat dianggarkan pembangunan kantor baru untuk gubernur. Namun, Irwan mengalihkan penggunaannya untuk tiga SKPD yang kantornya rusak, memilih berkantor menempati rumah dinas lama di Jalan Sudirman.[65]
Pada 22 Januari 2014, seorang mahasiswa dengan pisau terhunus memasuki Kantor Gubernur Sumatera Barat, mengancam akan membunuh gubernur. Luput dari penjagaan Satpol PP yang bertugas, mahasiswa yang belakangan diketahui lulusan ITB sempat naik ke lantai dua gedung sambil berteriak-teriak sebelum keluar meninggalkan halaman gedung dengan mengendarai mobil.[66] Setelah pemeriksaan oleh kepolisian seminggu berikutnya, pelaku diserahkan kepada keluarga untuk penanganan medis karena terbukti mengidap gangguan jiwa.[67] Terkait kejadian ini, Irwan memaklumi, "Pengawalan di kantor gubernur dan di rumah dinas gubernur memang sengaja saya buat minimalis dan minim protokoler."[68] Namun, tujuh anggota Satpol PP yang bertugas pada hari kejadian tetap diberikan sanksi atas kelalaian dalam menjalankan tugas.
Dalam melakukan perjalan ke luar provinsi, Irwan tak pernah memilih maskapai penerbangan.[65] Ia selalu memilih dan merasa nyaman duduk di kelas ekonomi.[64] Penyair Taufiq Ismail, yang pernah mendapati Irwan satu pesawat di kelas ekonomi, menilainya sebagai hal istimewa dan sebuah keteladanan.[69] Terkait penampilannya yang sederhana, tanpa atribut dan minim protokoler, Irwan mengatakan ia tak ingin ada pembatas antara dirinya dan masyarakat.[64]
Yongki Salmeno yang dekat dengan Irwan Prayitno, menuliskan pengalamannya bersama Irwan. Ia mendapati karakter Irwan yang ingin serba cepat dan tepat waktu. Setiap melakukan kunjungan ke daerah, rombongan gubernur nyaris melaju dengan kecepatan tinggi. Yongki menemukan sejumlah SKPD berusaha mengelak ikut iring-iringan kendaraan gubernur karena tak siap nyali. Irwan berprinsip, lebih baik ia datang duluan daripada terlambat. Dalam kota, ia menolak menggunakan mobil pengawalan, kecuali dalam keadaan mendesak. "Seringkali pemilik acara masih menunggu-nunggu kedatangan gubernur dengan menyimak raungan sirene mobil pengawalan. Ternyata sirine itu tak pernah terdengar, gubernur sudah datang tepat waktu tanpa pengawalan dan malah sudah duduk bersama mereka," tulis Yongki. Atribut gubernur yang biasa dipasang di dada kiri oleh gubernur atau pejabat pada umumnya nyaris tak pernah dipakainya.[65]
Irwan tetap menunaikan dakwah selama menjabat sebagai gubernur. Dua kali sebulan setiap Jumat pagi, ia mengisi wirid mingguan yang diikuti jajaran pegawai Pemprov Sumatera Barat. Kegiatan wirid dipusatkan di Masjid Raya Sumatera Barat sejak awal tahun 2012, meskipun saat itu penggunaan masijd belum diresmikan. Selama Juni dan bulan Ramahdhan 2014, ia mengisi tausiah dalam kunjungan ke instansi-instansi pemerintah.
Irwan memanfaatkan sisa waktunya untuk keluarga dan olahraga. Irwan adalah penyuka olahraga badminton,[2] karate, dan trabas. Waktu senggangnya kadang ia manfaatkan untuk bermain musik. Ia mengaku bisa bernyanyi sejak tahun 2012. "Karena sebagai gubernur sering ditodong untuk menyanyi, akhirnya saya belajar menyanyi."[19] Pada Ramadhan 2013, ia menciptakan lagu berjudul "Kau Istriku" dan mengunggahnya melalui akun resmi di YouTube.[70] "Saya melihat di Gubernuran banyak alat musik peninggalan gubernur sebelumnya, akhirnya saya manfaatkan untuk coba latihan. Padahal, sebelumnya saya belum pernah belajar not balok, tangga nada dan sebagainya," katanya mengungkapkan awal ketertarikannya bermain musik. Irwan telah mendaftarkan dua lagu ciptaanya, satu lagi berjudul "Kepada-Mu", ke Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat.[70][71]

13.  Reydonnyzar Moenek (15 Agustus 2015 -12 Februari 2016) Penjabat Gubernur
Dr. Reydonnyzar Moenek, M.Devt.M. (lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 November 1960; umur 57 tahun)[1] adalah seorang birokrat Indonesia. Ia menjabat sebagai Wakil Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sejak 6 Maret 2017.[2]. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri RI. Ia ditunjuk oleh Presiden RI Joko Widodo dan dilantik oleh Mendagri Tjahjo Kumolo sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 15 Agustus 2015 hingga 12 Februari 2016. Ia menjabat sementara menggantikan Irwan Prayitno yang habis masa jabatannya pada 15 Agustus 2015. Reydonnyzar akan mengisi jabatan kosong itu hingga dilantiknya Gubernur Sumatera Barat yang baru hasil Pemilukada pada Desember 2015

Reydonnyzar menjabat sebagai Direktur Jenderal Keuangan Daerah (Dirjen Keuda) Kementerian Dalam Negeri. Sebelumnya ia pernah dipercaya sebagai Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Indonesia (Kemendagri).[4]
Diawal kariernya sebagai birokrat, ia pernah jadi staf di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dari tahun 1989 sampai 1993. Karena keahliannya menulis, ia dipercaya menjadi penulis dan penyusun naskah pidato Gubernur Jawa Tengah, Muhammad Ismail. Tidak hanya itu, bahkan ia juga diserahi tugas sebagai pemimpin redaksi majalah Beringin, sebuah media milik Golkar ketika itu. Opininya dalam bentuk artikel juga sering dimuat di sejumlah media, diantaranya Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dan lain-lain
Reydonnyzar Moenek yang akrab disapa Donny ini menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Semarang sebelum melanjutkannya ke Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun 1988 ia pun berhasil menyelesaikan kuliahnya di UGM dan selanjutnya ia menamatkan studinya di Asian Institute Of Management di Philipina untuk pascasarjana pada tahun 1994. Kemudian, ia menamatkan program doktoral di Universitas Padjadjaran pada tahun 2014.[1]
Selesai kuliah di luar negeri ia juga sempat menulis tiga seri buku mengenai analisa investasi. Buku yang diterbitkan dalam dua bahasa itu akhirnya dibeli hak ciptanya oleh suatu lembaga internasional, sehingga Reydonnyzar kehilangan hak ciptanya sebagai penulis, tetapi itu semua dikompensasi dengan sejumlah uang yang jumlahnya bisa untuk membeli sebuah rumah.



14.  Irwan Prayitno ( 12 Februari 2016 – Sekarang)

Category: ,

Arlo Mediatama: Terima Kasih atas kunjungannya. Silahkan Tinggalkan Komentarnya .