Arlo Library

product 1

Koleksi E-Book/Buku Elektronik yang dapat di Download Secara Gratis.

Limpapeh

product 1

Koleksi Artikel tentang adat, Budaya dan Pariwisata.

Arlo Techno

product 1

Arlo Techno berisi tentang Sisitim Informasi,Teknologi Informsi, Aplikasi dan Tutorial

Arlo News

product 1

Berisi kumnpulan berita.

Arlo Otomotif

product 1

Dunia Otomotif dan Modifikasi.

Arlo Mediatama Chanel

product 1

Berisi Kumpulan Video

Inilah Sejarah Kerajaan Pagaruyuang yang Belum Kamu Ketahui

Arlo | 19.57 |

TANAH DATAR - Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yg pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya.

Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yg bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yg berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yg mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil Alam.
Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yg pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yg mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat Minangkabau tak ada yg memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yg diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yg ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar. Dari manuskrip yg dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yg terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yg beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yg senantiasa kaya akan padi yg sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yg menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.
Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yg beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yg signifikan pada kawasan tersebut. Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yg ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yg menyebut sesuatu hal yg berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yg bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yg merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupaken semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yg disandang oleh Adityawarman seperti yg terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yg ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yg disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-tsi kepada Kaisar Cina yg meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-tsi.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya ialah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.
Pengaruh Islam di Pagaruyung
Perkembangan agama Islam sesudah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yg berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yg relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yg ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yg telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yg singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yg terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah ulama yg dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yg pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yg pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yg terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yg artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yg mendorong pecahnya perang saudara yg dikenal dengan nama Perang Padri yg pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yg berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yg mengandung kata kudus yg berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yg mengandung kata qaum jelas merupaken pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mualim) yg merupaken pengganti dari istilah-istilah yg berbau Hindu dan Buddha yg dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
Terdapat keselarasan yg mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tak ada masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera.
Pendapat dari William Marsden
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh yg ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yg menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yg daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yg kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yg bernama Sultan Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupaken salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yg berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yg sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian sesudah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yg signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yg sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yg terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Pendapat dari Thomas Stamford Raffles
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian sesudah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia [Jakarta sekarang] sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yg berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yg berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yg dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara sesudah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yg lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yg dipegangnya sesudah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung
Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat [antara Aru dan Rokan] ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur [Barus], Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupaken bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung ialah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau.
Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
1. Dari Sikilang Aia Bangih
2. Hingga Taratak Aia Hitam
3. Dari Durian Ditakuak Rajo
4. Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih ialah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam ialah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo ialah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi ialah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau [wilayah Kerajaan Pagaruyung] ialah sebagai berikut:
1. Hinggo lauik nan sadidieh
2. Daerah yg berbatasan dengan Jambi
3. Daerah sekitar Indragiri Hulu sampai Gunung Sailan [Gunung Sahilan, Kampar]
4. Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi
5. Daerah sampai ke rantau pesisir sebelah timur
6. Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang Ombilin
7. Daerah sampai Samudra Indonesia
8. Nan salilik Gunuang Marapi
9. Saedaran Gunuang Pasaman
10. Sajajaran Sago jo Singgalang
11. Saputaran Talang jo Kurinci
12. Dari Sirangkak nan Badangkang
13. Hinggo Buayo Putiah Daguak
14. Sampai ka Pintu Rajo Hilia
15. Hinggo Durian Ditakuak Rajo
16. Sipisau-pisau Hanyuik
15. Sialang Balantak Basi
18. Hinggo Aia Babaliak Mudiak
19. Sailiran Batang Bangkaweh
20. Sampai ka ombak nan badabua
21. Sailiran Batang Sikilang
22. Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang [Pasaman Barat]
23. Daerah yg berbatasan dengan Samudra Indonesia
24. Daerah sebelah timur Air Bangis [Sungai Beremas, Pasaman Barat]
25. Daerah di kawasan Rao dan Mapat Tunggua
26. Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
27. Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
28. Daerah sekitar Silauik dan Lunang
29. Daerah sampai Tanjung Simalidu
30. Daerah sehiliran Batang Hari
31. Ka timua Ranah Aia Bangih
32. Rao jo Mapat Tunggua
33. Gunuang Mahalintang
34. Pasisia Banda Sapuluah
35. Taratak Aia Hitam
36. Sampai ka Tanjuang Simalidu
37. Pucuak Jambi Sambilan Lurah
38. Daerah Luhak nan Tigo
39. Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
49. Daerah sekitar Gunung Sago dan Gunung Singgalang
41. Daerah sekitar Gunung Talang dan Gunung Kerinci
42. Daerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnya
43. Daerah di Pesisir Selatan sampai Muko-Muko
44. Daerah Jambi sebelah barat
Aparat pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yg ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya [Dharmasraya dan Sriwijaya] yg pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat. Setelah masuknya Islam, Raja Alam yg berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya [wakil raja], yaitu Raja Adat yg berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yg berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yg "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yg tak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yg digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang ialah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yg masih tetap pada sistem matrilineal.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yg disebut Basa Ampek Balai, artinya "Empat menteri utama". Mereka adalah:
1. Bandaro yg berkedudukan di Sungai Tarab.
2. Makhudum yg berkedudukan di Sumanik.
3. Indomo yg berkedudukan di Suruaso.
4. Tuan Gadang yg berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yg berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama. Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekedarnya, yg disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi ialah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yg menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yg sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
1. Pamuncak Koto Piliang
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Harimau Campo Koto Piliang
5. Camin Taruih Koto Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto Piliang
Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tome Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek [land] dan rantau [sea/coast], walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yg ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yg merupaken satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupaken dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yg luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri.
Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X ialah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yg ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yg dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yg mendomisili kawasan tersebut.
Pemerintahan Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupaken suatu kawasan yg menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia [kawasan pesisir timur] dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yg disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yg memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan.
Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar. Pembagian daerah rantau ialah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
1. Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah
2. Basra
3. Sitinjua
4. Kopa
5. Taluak Ingin
6. Inuman
7. Surantiah
8. Taluak Rayo
9. Simpang Kulayang
10. Aia Molek
11. Pasia Ringgit
12. Kuantan
13. Talang Mamak
14. Kualo Thok
15. Lubuak Ambacang
16. Lubuak Jambi
17. Gunuang Koto
18. Benai
19. Pangian
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
- Toboh Pakandangan
- Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
- Tujuah Koto
- Sungai Sariak
- Anduriang Kayu Tanam
- Guguak Kapalo Hilalang
- Sicincin
Rantau Luhak Agam
- Nagari-nagari pantai barat Sumatera
- Pasaman Barat
- Pasaman Timur
- Panti
- Rao
- Lubuak Sikapiang
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
- Palembayan
- Silareh Aia
- Lubuak Basuang
- Kampuang Pinang
- Simpang Ampek
- Sungai Garinggiang
- Lubuak Bawan
- Tigo Koto
- Garagahan
- Manggopoh
Rantau Luhak Limopuluah
- Mangilang
- Tanjuang Balik
- Pangkalan
- Koto Alam
- Gunuang Malintang
- Muaro Paiti
- Rantau Barangin
- Rokan Pandalian
- Kuatan Singingi
- Gunuang Sailan
- Kuntu
- Lipek Kain
- Ludai
- Ujuang Bukik
- Sanggan
Tigo Baleh Koto Kampar
- Sibiruang
- Gunuang Malelo
- Tabiang
- Tanjuang
- Gunuang Bungsu
- Muaro Takuih
- Pangkai
- Binamang
- Tanjuang Abai
- Pulau Gadang
- Baluang Koto Sitangkai
- Tigo Baleh
- Lubuak Aguang
- Limo Koto Kampar Kuok
- Salo
- Bangkinang
- Rumbio
- Aia Tirih
- Taratak Buluah
- Pangkalan Indawang
- Pangkalan Kapeh
- Pangkalan Sarai
- Koto Laweh
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah [Bandar Sepuluh] dipimpin oleh Rajo nan Ampek [4 orang yg bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai]. Kawasan ini merupaken semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari [negeri], yg masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah:
- Tapan
- Tarusan
- Batang Kapeh
- Ampek Baleh Koto
- Limo Koto
- Airhaji
- Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
- Kambang
- Palangai
- Lakitan
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yg mencakup lembah Manjuto dan Airdikit [disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto], dan Muko-muko [Limo Koto].
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yg terletak di wilayah Semenanjung Malaya [Malaysia sekarang]. Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi [semacam Luhak], dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah:
- Naning
- Pasir Besar
- Rembau
- Segamat
- Sungai Ujong
- Jelai
- Jelebu
- Johol
- Klang
Pemerintahan Darek
- Pariangan Padangpanjang
- Sungai Tarab Salapan Batua
- Talawi Tigo Tumpuak
- Tanjuang nan Tigo
- Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh
- Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak
- Langgam nan Tujuah Ranah
- Limokaum Duobaleh Koto Sandi
- Lintau Sambilan Koto
- Lubuak nan Tigo
- Nilam Payuang Sakaki
- Sapuluah Koto di Ateh
- Luhak nan Tigo
- Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
- Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak [Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah]. Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yg mengepalai masing-masing suku yg berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, sesudah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.(romeo)
Sumber : https://minangkabaunews.com/artikel-8720-inilah-sejarah-kerajaan-pagaruyuang-yang-belum-kamu-ketahui.html

Category: ,

Arlo Mediatama: Terima Kasih atas kunjungannya. Silahkan Tinggalkan Komentarnya .